CURRICULUM
DEVELOPMENT
REPRESENTATIVE MODELS
Allan
C. Ornstein & Francis P. Hunkins, 1988, p. 191:
“Curriculum development
draws on the principles (usually technical or scientific) and consist of those
processes (humanistic, humane, and artistic) that allow schools and school
people to realize certain educational goals.”
Dengan
kata lain, pengembangan kurikulum menekankan pada prinsip dan proses yang
membuat pihak sekolah dan semua pihak yang terlibat untuk tetap berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Idealnya semua orang yang dipengaruhi oleh kurikulum
harus terlibat dalam proses pengembangan kurikulum.
Terdapat
tiga proses utama dalam kegiatan penyempurnaan suatu kurikulum (curriculum engineering), yaitu:
1. Curriculum construction(penyusunan
kurikulum)
Merupakan
pembuatan keputusan yang mempertimbangkan sifat dan rancangan kurikulum.
Penyusunan
kurikulum menekankan pada:
a. Valuing
(nilai)
b.
Foundation
c. Aspek
teoritis kurikulum, terutama komponen dari kurikulum.
2. Curriculum development (
pengembangan kurikulum)
Merupakan
prosedur dalam menjalankan kurikulum yang sudah disusun
3. Curriculum implementation
(penerapan kurikulum)
Merupakan
proses dalam melaksanakan kurikulum yang sudah disusun dan dikembangkan.
Pendekatan
dalam pengembangan kurikulum, terdiri atas:
1. Technical-Scientific approaches,
terdiri atas:
a.
Behavioral-rational
b.
System
managerial
c.
Intelectual-academic
Model-model
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan technical-scientific antara lain adalah:
Ø Tyler Model: Four Basic Principles
Ø Taba Model: Grass-Roots Rationale
Ø Saylor and Alexander Model: Planning
Process
Ø Goodlad Model: Learning Opportunity,
Organizing Center
Ø Hunkins’s Developmental Model
Ø Miller and Seller: Curriculum
Orientation
2.
Nontechnical-non
scientific approaches, terdiri atas:
a.
Humanistic-aesthetic
b. Reconceptualist
Model-model
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan Nontechnical-non scientific, antara lain:
Ø Open-Classroom Model
Ø Weinstein and Fantini Model: A
curriculum of Affect
Ø Rogers’s Model: Interpersonal
Relations.
Pengembangan
model kurikulum perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar
mengajar, dan evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut.
A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN
KURIKULUM
PARTICIPANTS IN DEVELOPING THE CURRICULUM
Kalangan yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
yaitu:
1) Political – Arena Participants, yaituparawakil
rakyat, partai politik.
2) School Arena Participants, yaitu
pihak-pihak organisasi sekolah, antara lain:
a. Teachers
b. Students
c. Principals(Kepala Sekolah)
d. Curriculum Specialist
e. The Asisstant (Associates) Superintendent(Asisten
Pengawas)
f. Superintendent(Pihak Pengawas Sekolah)
g. Boards of Education (Komite sekolah)
h. Lay Citizen(Masyarakat sekitar)
3) Participants outside the School District, yaitu
pihak-pihak diluar sekolah
a. Federal Government(Pemerintah Pusat)
b. State Agencies (Departemen pemerintahan)
c. Regional Organizations(Organisasi
setempat)
4) Other Participants
COMPONENTS TO CONSIDER IN DEVELOPING A CURRICULUM
1) Curriculum content
a. Conceptions of Cotent
b. Organizations of Content
c. Criteria for Selecting Content
Ø Self Sufficiency
Ø Significance
Ø Validity
Ø Interest
Ø Learnability
Ø Feasibility
2) Curriculum Experinces
Ø Experiences versus activities
Ø Wholeness and continuity
Ø Means and ends
MODEL-MODEL
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Banyak model yang dapat digunakan
dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan
dan kebaikan-kebaikanya serta kemungkinan tercapainya hasil yang optimal,
tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan
pendidikan yang dianut serta model konsep
pendidikan mana yang digunakan.
Model
pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya
sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang
sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan
rekontruksi sosial.
1.
The
administrative model,
Merupakan
model yang gagasanpengembangannyadatang daripara administrator danmenggunakanproseduradministrasi
2.
The grass
rootsmodel
Merupakan
model yang inisiatifpengembangannyadatangdaripengajaratausekolah.
3.
Beauchamps
system
Merupakan
model yang dikembangkanolehBeauchampdenganmempertimbangkan lima
aspekyakni (1) arena (2) personalia (3) organisasidanprosedur (4)
implementasidan (5) evaluasi.
4.
Thedemonstrationmodel,
Merupakan
model grass rootsberskalakecil, yang dilakukansecara formal
ataupunkurang formal.
5.
Taba’s
inverted model,
Modelpengembangan
yang bersfatinduktif.
6.
Rogers’s
interpersonal relations model
Merupakan
model pengembangankurikulumdilihatdanperkembangandanperubananinclividu
7.
The
systematic action-reasearch model,
Model yang
didasarkanpadaasumsibahwaperkembangankurikulummerupakanperubahansosial.
8.
emerging
technical models,
Suatu model
pengembangankurikulum yang
dipengaruhiolehperkembanganipteksertanilaiefisiensidanefektivitasdalambisinis.
1. The Administrative Model.
Model pengembangan kurikulumini
merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model
administratif atau line staf, karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang
dari para administrator pendidikan
dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan
wewenang administrasinya, administrator pendidikan
(apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan)
membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri
atas pejabat dibawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu, dan para tokoh dari dunia
kerja dan perusahaan.
Tugas tim atau
komisi pengembangan kurikulum adalah merumuskan konsep-konsep dasar,
landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Setelah hal-hal mendasar ini
dirumuskan dan dikaji secaar seksama, administrator pendidikan
menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau
komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari
perguruan tinggi, dan guru-guru bidang
studi yang senior.
Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang
sesungguhnya yang lebih operasional, yang dijabarkan dari konsep-konsep dan
kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja
ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan yang
lebih umum, memilih dan menyusun sekuens bahan pelajaran, memilih strategi
pengajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum
tersebut bagi para guru.
Setelah semua tugas dari tim
kerja pengembangan kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim
pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan
berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolah-sekolah
untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Karena sifatnya yang datang dari
atas, model pengembangan kurikulum
demikian disebut juga model “top down”
atau “line staff”. Pengembangan
kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari
pelaksanaanya, terutama guru-guru.
Mereka perlu mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering
tidak dapat dihindarkan.
Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan
diperlukan pula adanya kegiatan monitoring pengamatan dan pengawasan serta
bimbingan dalam pelaksanaanya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga
dilakukan evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponenya prosedur
pelaksanaan maupun keberhasilanya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh
tim khusus dari tingkat pusat atau daerah. Sedang penilaian persekolah dapat
dilakukan oleh tim khusus sekolah yang
bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi
instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah.
2.
The Grass Roots Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan
upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah,
yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang
pertama,digunakan dalam sistim pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat
sentralisasi, sedangkan Grass Roots Model akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan Grass Roots,
seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan
upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen
kurikulum, satu atau beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan
keseluruhan komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik
dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum Grass Roots Model akan lebih baik. Hal ini didasarkan
atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna
dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh
karena itu dialah yang paling berkompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal
itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembang kurikulum yang deikemukakan oleh
smith, stanley dan shores (1957:429) dalam pengembangan kurikulum karangan
Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata.
Pengembangan kurikulum yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku
untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat
digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang
studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi
di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang pada gilirannya akan
melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Beauchamp’s System.
Model pengembangan kurikukum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang
ahli kurikulum Beauchamp. Ia mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu
kurikulum, yaitu:
a. menetapkan
arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut.
Apakah suatu
sekolah, kecamatan, kabupaten atau seluruh negara. Pentahapan
arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan
dalanm pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum.
Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan
mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya
mencakup suatu daerah kabupaten saja sebagai pilot proyek.
b. menetapkan
personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan
kurikulum.
Ada empat kategori orang yang turut
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum yaitu:
·
Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat
pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar,
·
Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau
sekolah dan guru-guru terpilih,
·
Para profesional dalam sistem pendidikan.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan
seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap
pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh lain
seperti; para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus,
dan pengusaha serta industriwan. Penetapan personalia ini sudah tentu
disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah dan arena. Untuk tingkat propinsi
atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru-guru. Sebaliknya untuk
tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru semakin besar.
Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan:
Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan:
·
Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut
dilibatkan dalam pengembangan kurikulum?
·
Bila iya, apakah peranan mereka?
·
Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif
untuk melaksanakan peran tersebut?
c. Organisasi
dan prosedur pengembangan kurikulum.
Langkah ini harus berkenaan dengan
prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih
khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta
kegiatan evaluasi dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
Beauchamp membagi keseluruhan
kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu :
·
membentuk tim pengembang kurikulum;
·
mengadakan evaluasi atau penelitian terhadap kurikulum
yang berlaku;
·
studi penjajagan kemungkinan penyusunan kurikulum
baru;
·
merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum
baru; dan
·
penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
·
Implementasi kurikulum merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang sesungguhnya bukanlah hal
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan menyeluruh, baik guru, peserta didik,
fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dan pimpinan sekolah
atau administrator setempat.
d. Implementasi
kurikulum.
Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru,
siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
e. Evaluasi
kurikulum, pada langkah ini minimal mencakup empat hal yaitu:
·
evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru;
·
evaluasi desain;
·
evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.
Data yang
diperoleh digunakan untuk kepentingan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.
4. The Demonstration Model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, yaitu dari bawah.
Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama
dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini
umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu
kompenen kurikulum atau mencakup keseluruhna kompeonen kurikulum. Karena sikap
ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering
mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali
mendapat tantangan dari pihak tertentu.
Terdapat dua variasi model demonstrasi,
yaitu ;
1. berbentuk
proyek dan
2. berbentuk
informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang merasa kurang puas
dengan kurikulum yang ada.
Beberapa keunggulan dari
pengembangan kurikulum model demonstrasi ini, yaitu:
a. Memungkinkan
untuk menghasilkan suatu kurikulum atas aspek tertentu dari kurikulum yang
lebih praktis, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan berdasarkan situasi
nyata;
b. Jika
dilakukan dalam skala kecil, resistensi dari administrator kemungkinan
relatif kecil, dibandingkan dengan perubahan yang berskala besar dan
menyeluruh;
c. Dapat
menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumen kurikulumnya bagus, tetapi
pelaksanaannya tidak ada;
d. Menempatkan
guru sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk
mengembangkan program baru.
Sedangkan
kelemahan model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi cenderung
menjadi apatis.
5. Taba’s Inverted Model
Secara tradisional,
pengembangan kurikulum dilakukan secara deduksi, dengan urutan:
a. Penentuan
prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
b. Merumuskan
desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen
tertentu,
c. Menyusun
unit-unit kerikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
d. Melaksanakan
kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang
timbulnya inovasi. Menurutnya, pengembangan kurikulum yang lebih mendorong
inovasi dan kreativitas guru-guru adalah
bersifat induktif, yang merupakan kebalikan model tradisional. Model
pengembangan kurikulum Taba adalah model yang memodifikasi model dasar Tyler.
a.
Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) dengan
bekerjasama dengan para guru, melalui tahapan-tahapan berikut:
Step 2:
Formulation of objectives; merumuskan tujuan-tujuan khusus
Step 3:
Selection of content - memilih isi
Step 4:
Organization of content - mengorganisasi isi
Step 7:
Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it - mengevaluasi;
dan melihat sekuens dan keseimbangan
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa langkah-langkah yang digunakan Taba dalam mengembangkan
kurikulum adalah diagnosis kebutuhan, formulasi pokok-pokok, seleksi isi, organisasi
isi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan penentuan
tentang apa yang harus dievaluasi dan cara untuk melakukannya.
Diagnosis merupakan langkah pertama
yang paling penting dalam menentukan kurikulum apa yang seharusnya diberikan
kepada siswa. Karena latar belakang siswa sangat beragam, maka perlu untuk
mendiagnosa perbedaan atau jurang pemisah, kekurangan dan variasi dalam latar
belakang tersebut. Menurut Taba, mendiagnosis kebutuhan anak didik merupakan
hal pertama yang sangat penting. Informasi ini berguna dalam menentukan langkah
keduanya yaitu formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan yang komprehensif untuk
membentuk dasar pengembangan elemen-elemen berikutnya. Dan hakikat tujuan (objectives)akan
menentukan jenis pelajaran yang perlu diikuti.
Adapun beberapa area yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut.
a. Concepts or
ideas to be learned (konsep atau ide yang akan dipelajari)
b. Attitude,
sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan
yang akan dibangun)
c. Ways of
thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (pola pikir
yang akan ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan)
Habits and
skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai)
b.
Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data
dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c.
Mengadakan revisi dan konsolidasi unit-unit eksperimen
berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
d.
Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum
e.
Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah
teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui
penataran-penataran, loka karya dan sebagainya serta mempersiapkan fasilitas
dan alat sesuai tuntutan kurikulum.
Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria
dalam memformulasikan tujuan dalam pendidikan yaitu:
a. A statement
of objectives should describe both of the kind of behavior expected and the
content or the context to which that behavior applies.
Seharusnya
pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang diharapkan dan isi dari penerapan
sikap. Menurut Zainal Arifin bahwa yang dimaksud dengan “the content or the
context to which that behavior applies” adalah isi yang terdapat dalam
setiap mata pelajaran.
b. Complex
objectives need to be stated analytically and specifically enough so that there
is no doubt as to the kind of behavior expected, or what the behavior applies
to.
Tujuan yang komplek perlu dianalisis dan dispesifikan
sehingga tidak ada keraguan terhadap sikap yang diharapkan atau sikap yang
diterapkan.
c. Objectives
should also be so formulated that there are clear distinctions among learning
experiences required to attain different behavior.
Tujuan hendaknya memberikan petunjuk bahwa ada
perbedaan yang jelas tentang pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai
sikap yang berbeda.
d. Objectives
are developmental, representing roads to travel rather than terminal points.
Tujuan
adalah hal yang dikembangkan, yang merupakan langkah (perjalanan) yang lebih
dari sekedar titik akhir.
e. Objectives
should be realistic and should include only what can be translated into
curriculum and classroom experiences
Tujuan seharusnya realistis dan seharusnya termasuk
hal yang dapat diterjemahkan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar.
f.
The scope of objectives should be broad enough to
encompass all types of outcomes for which to school is responsible.
Jangkauan dari tujuan seharusnya menyeluruh
yang meliputi semua tujuan yang akan dicapai sekolah.
Sedangkan dalam langkah ketiga yaitu
seleksi isi, Taba memberikan kriteria sebagai berikut:
a. Validity of
significance of content (validitas dan signifikansi isi)
b. Consistency
with social realities (konsisten dengan realitas sosial)
c. Balance of
breadth and depth (keseimbangan antara keluasan dan kedalaman)
d. Provision
for wide range of objectives (ketentuan untuk keluasan cakupan
dari tujuan)
e. Learn
ability and adaptability to experiences of students
(pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan pengalaman siswa)
f.
Appropriateness to the needs and interests of the
students (sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa).
Langkah keempat dalam model Taba
adalah organisasi isi, dimana terdapat tiga macam organisasi kurikulum yaitu, sparated
subject curriculum (kurikulum dalam bentuk mata pelajaran yang
terpisah-pisah), correlated curriculum (sejumlah mata pelajaran
dihubungkan antara satu dengan yang lainnya), dan broad field curriculum (mengkombinasikan
beberapa mata pelajaran).
Pada langkah kelima yaitu seleksi pengalaman belajar
ini, terdapat kriteria yang perlu dicermati, yaitu:
a. Validitas,
dapat diterapkan di sekolah
b. Kelayakan
dalam hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap
harapan masyarakat.
c. Optimal
dalam mengembangkan kemampuan peserta didik.
d. Memberikan
peluang untuk pengembangan berpikir rasional
e. Memberikan
peluang pengembangan kemampuan peserta didik sebagai individu dan anggota
masyarakat
f.
Terbuka terhadap hal baru dan toleransi terhadap
perbedaan peserta didik.
g. Memotivasi
belajar lebih lanjut.
h. Memenuhi
kebutuhan peserta didik
i.
Memperluas minat peserta didik
j.
Mengembangkan kebutuhan pengembangan ranah kognitif,
afektif, psikomotorik, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik.
Tahap organisasi pengalaman belajar
selanjutnya harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Pada tahap
yang terakhir yaitu evaluasi dan cara melakukan evaluasi Taba menganjurkan
beberapa hal yaitu:
a. Criteria for
a program of evaluation (menentukan kriteria program penilaian)
b. A
comprehensive evaluation program (menyusun program penilaian yang
menyeluruh)
c. Techniques
for securing evidence (teknik mengumpulkan data)
d. Interpretation
of evaluation data (menginterpretasikan data penilaian)
e. Translation
of evaluation data into the curriculum (menerjemahkan data evaluasi ke
dalam kurikulum)
f.
Evaluation as a cooperative enterprise. (evaluasi
sebagai usaha kerjasama)
Model pengembangan kurikulum yang
dikembangan Taba ini adalah model terbalik yang didapatkan atas dasar data
induktif, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep
yang datangnya dari atas secara deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan
dengan terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan
percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian diadakan
pelaksanaan.
Model pengembangan kurikulum Tyler
dan Taba dikategorikan ke dalam Rational Model atau Objectives Model,
karena keduanya berpendapat bahwa dalam pengembangan kurikulum bersifat
rasional, sistematis dan berfokus pada tujuan. Model tersebut memiliki beberapa
kelebihan dan juga kekurangan sebagai berikut:
1) Kelebihan Rational Model yaitu:
a. Menghindari
kebingungan dimana para pendidik dan para pengembang kurikulum memberikan suatu
jalan yang tidak berbelit-belit dan mempunyai pendekatan waktu yang efisien
sehingga bisa menemukan atau melakukan tugas kurikulum dengan baik.
b. Dengan
menekankan pada peranan dan nilai tujuan-tujuan (objectives), model ini
membuat para pengembang kurikulum bisa berpikir serius tentang tugas mereka.
c. Dengan tata
urutan pengembangan kurikulum dari tujuan, formulasi isi, aktivitas belajar,
sampai pada evaluasi sejauh mana tujuan-tujuan tersebut dicapai, merupakan daya
tarik tersendiri dari model ini.
2) kelemahan Rational
Model yaitu:
a.
Latar belakang pengalaman dan kurangnya persiapan diri
seorang pendidik untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya secara logis dan
sistematis akan mengalami kesulitan dalam menggunakan model ini.
b.
Kurang jelasnya hakikat belajar mengajar, karena
seringkali pembelajaran justru terjadi di luar tujuan-tujuan tersebut.
c.
Terlalu berlebihan menekankan pada formula hasil
seperti mementingkan tujuan perilaku (behavior objectives).
6. Roger’s Interpersonal Relation Model
Meskipun
roger bukan seorang ahli pendidikan melainkan seorang ahli psikologi atau
psikoterapi. Tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kurikulum. Memang ia
banyak mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan individu.
Menurut
Rogers, manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan
dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan
tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat
perubahan tersebut. Guru serta
pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak,
mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
a)
Pemilihan target dari sistem pendidikan; di dalam
penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya
kesediaan dari pejabat pendidikan/administrator untuk turut serta dalam
kegiatan kelompok secara intensif. Selama satu minggu pejabat pendidikan/administrator melakukan
kegiatan kelompok dalam suasana relaks, tidak formal.
b)
Partisipasi guru dalam
pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru dalam
kegiatan sebaiknya secara sukarela. Lama kegiatan satu minggu atau kurang.
Menurut Rogers bahwa efek yang diterima sejalan dengan para administrator seperti
telah dikemukakan di atas,
c)
Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk
satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta
dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator guru atau administrator atau
fasilitator dari luar.
d)
Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh Komite Sekolah masing-masing sekolah. Lama
kegiatan kelompok tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara
terus menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya
dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Kegiatan
ini merupakan kulminasi dari kegiatan kelompok di atas. Metode pendidikan yang
dikembangkan Rogers adalah sensitivity trainning, encounter group, dan
Trainning Group (T Group).
Model pengembangan kurikulum dari Rogers
ini berbeda dengan model-model lainnya.
Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis,
yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers
ssebagai sebagai Eksistensial Humanis., ia tidak mementingkan formalitas,
rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah
aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini
individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah
sensitivity training, encounter group dan Training Group
(T Group).
(T Group).
Berbagai macam model pengembangan kurikulum lainnya:
1) Ralph Tyler
Menurut Tyler, pendapat secara rasional, menganalisis,
menginterpretasikan kurikulum dan program pengajaran dari suatu lembaga
pendidikan sangatlah penting. Kemudian Tyler juga menempatkan empat pertanyaan
dalam mengembangkan kurikulum, yaitu:
a. What
educational purposes should the school seek to attain? (objectives)
b. What
educational experiences are likely to attain these objectives? (instructional
strategic and content/selecting learning experiences)
c. How can
these educational experiences be organized effectively? (organizing learning
experiences)
d. How can we
determine whether these purposes are being attain? (assessment and evaluation).
Berdasarkan empat pertanyaan yang
diajukan Tyler tersebut bisa kita pahami bahwa yang pertama harus diperhatikan
adalah tujuan, yaitu apa tujuan pendidikan yang seharusnya dicari oleh pihak
sekolah untuk dicapai. Kedua, mengenai strategi dan isi pembelajaran yang
berhubungan dengan seleksi pengalaman belajar, yaitu pengalaman belajar seperti
apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah ketiga adalah
mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu bagaimana pengalaman-pengalaman
belajar tersebut dapat diorganisasikan dengan efektif. Sedangkan langkah yang
terakhir adalah penilaian dan evaluasi, yaitu bagaimana kita menentukan apakah tujuan
tersebut telah tercapai.
Ralph Tyler sebagai bapak pengembang
kurikulum (curriculum developer), telah menanamkan perlunya hal yang
lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka.
Tyler juga menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang datang dari
anak didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata pelajaran yang bersifat
akademik, filsafat dan psikologi belajar.
2) D.K. Wheeler
Berbeda dengan Tyler dan Taba,
Wheeler mempunyai argument tersendiri agar pengembang kurikulum dapat
menggunakan proses melingkar (a cycle process) dalam mengembangkan
kurikulum, dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling bergantung.
Sebenarnya model Wheeler ini juga rasional, dimana secara umum suatu langkah
tidak dapat diseleaikan sebelum langkah-langkah sebelumnya terselesaikan,
tetapi hanya representasinya agak berbeda.
Adapun langkah-langkah atau Phases
Wheeler adalah:
a. Selection of
aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan dan sasaran)
b. Selection of
learning experiences to help achieve these aims, goals, and objectives. (seleksi
pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan dan sasaran)
c. Selection of
content through which certain types of experiences may be offered (seleksi isi
melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungkin ditawarkan)
d. Organization
and integration of learning experiences and contents with respect to the
teaching learning process (organisasi dan integrasi pengalaman belajar dan isi
yang berkenaan dengan proses belajar mengajar)
e. Evaluation
of each phase and the problems of goals (evaluasi setiap fase dan masalah
tujuan-tujuan).
Kontribusi Wheeler dalam
pengembangan kurikulum adalah penekanannya terhadap hakikat melingkar yang
memberikan indikasi bahwa langkah-langkah di dalamnya bersifat berkelanjutan
memiliki makna responsive terhadap perubahan-perubahan pendidikan yang ada. Hal
ini juga menekankan pada saling ketergantungan antara satu elemen dengan elemen
kurikulum lain.
3) Audery dan
Howard Nicholls
Audery dan Howard Nicholls mendefinisikan
kembali metode Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan pada kurikulum proses
yang bersiklus atau berbentuk lingkaran dengan langkah awalnya adalah analisis
situasi. Mereka menitikberatkan pada pengembangan kurikulum yang rasional,
khususnya kebutuhan untuk kurikulum baru yang muncul dari adanya perubahan
situasi. Fase analisis situasi ini merupakan sesuatu yang memaksa para
pengembang kurikulum untuk lebih responsif terhadap lingkungan dan terutama
dengan kebutuhan anak didik.
Adapun langkah-langkah
tersebut adalah:
a. Situational analisys (analisis
situasi)
b. Selection of objectives (seleksi
tujuan)
c. Selection and organization of content (seleksi
dan organisasi isi)
d. Selection and organization of method (seleksi
dan organisasi metode)
e. Evaluation (evaluasi)
Model pengembangan Wheeler dan
Nicholls termasuk ke dalam model pengembangan kurikulum cycle models.
Sama dengan rational models, maka cycle models ini juga memiliki
beberapa kelebihan dan juga kelemahan.
Adapun kelebihan dari cycle models adalah:
a.
Memiliki struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
b.
Dengan menerapkan situational analysis sebagai
titik permulaan dapat memberikan dasar data sehingga tujuan-tujuan yang lebih
efektif mungkin akan dikembangkan.
c.
Melihat berbagai elemen kurikulum sebagai asal yang
terus menerus, sehingga dapat menanggulangi situasi-situasi baru dan mempunyai
konsekuensi untuk bereaksi terhadap perubahan situasi.
Sedangkan kelemahan dari cycle
models adalah karena model ini memiliki beberapa kesamaan dengan rational
model maka kelemahan yang dimiliki oleh model ini pun hampir sama
dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Tetapi kelemahan yang lebih menonjol
adalah membutuhkan banyak waktu untuk menganalisis situasi belajar. Melihat
kondisi juga bahwa kebanyakan pendidik lebih suka mengandalkan intuisi daripada
menggunakan basis data yang sistematis dan sesuai dengan situasi.
4) Decker
Walker
Walker berpendapat bahwa proses
pengembangan kurikulum yang terjadi dalam persiapan yang natural lebih
baik dari pada proses di dalam kurikulum itu sendiri.
Berikut fase-fase yang ditunjukkan oleh Walker.
a. adanya
pernyataan platform yang diorganisasikan oleh para pengembang, yang
berisi serangkaian ide, preferensi atau pilihan, pendapat, keyakinan, dan
nilai-nilai yang dimiliki kurikulum. Sehingga para pengembang kurikulum tidak
memulai tugasnya dalam keadaan kosong.
b. fase
pertimbangan mendalam dimana individu mempertahankan pernyataan platform
mereka sendiri dan menekankan pada ide-ide yang ada. Berbagai peristiwa ini
memberikan suatu situasi dimana pengembang juga berusaha menjelaskan ide-ide
mereka dan mencapai suatu konsensus. Hal yang sangat kompleks ini terjadi
sebelum actual curriculum didesain.
c. pengembang
membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen
kurikulum, dimana keputusan ini diambil setelah ada diskusi mendalam dan
dikompromikan oleh individu-individu
5) Malcolm
Skilbeck
Malcolm Skilbeck mengembangkan suatu
interaksi alternative atau model dinamis bagi proses kurikulum, yang disebut
dengan model dynamic in nature. Model ini menetapkan bahwa pengembang
kurikulum harus mendahulukan suatu elemen kurikulum dan memulainya dengan suatu
urutan dari urutan yang telah ditentukan oleh model rasional.
Jika dilihat bahwa susunan model ini
secara logis termasuk kategori rational by nature. Skillbeck sebagaimana
yang dikutip oleh Abdullah idi mengingatkan bahwa pengembang kurikulum perlu
mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langkah dari
langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk berurutan. Pengembang kurikulum
juga harus mampu mengatasi segala perbedaan dalam langkah-langkah tersebut
secara bersamaan.
Model pengembangan kurikulum yang
dikembangkan oleh Walker dan Skilback merupakan model pengembangan kurikulum Interaction
Model atau Dynamic Model.
Adapun kelebihan dari model pengembangan kurikulum ini
adalah:
a. Memiliki
prosedur yang lebih realistis dan fleksibel untuk pengembangan kurikulum,
khususnya dari sudut pandang guru atau pendidik yang tentunya memiliki tugas
yang banyak.
b. Pengembang
lebih bebas dan menjadi lebih kreatif dengan tidak dituliskannya tujuan-tujuan
yang bersifat perilaku.
Sedangkan kelemahan dari model pengembangan ini
adalah:
a. Dalam
pelaksanaannya akan cukup membingungkan karena pendekatannya yang tidak
sistematis sehingga akan memunculkan hasil yang kurang memuaskan.
b. Kurangnya
penekanan dalam menempatkan pembangunan dan penggunaan objectives serta
petunjuk-petunjuk yang diberikan.
c. Dengan tidak
mengikuti susunan yang logis dalam pengembangan kurikulum, para pengembang
hanya membuang-buang waktu sehingga kurang efektif dan efisien.
6) Peter F.
Oliva
Model
perkembangan kurikulurn menurut Oliva sebagaimana yang dikutip oleh Retci
Angralia terdiri dari tiga kriteria, yaitu :simple,
komprehensif dan sistematis. Walaupun model ini mewakili komponen-komponen
paling penting, namun model ini dapat diperluas menjadi model yang menyediakan detil tambahan dan menunjukkan
beberapa proses yang diasumsikan oleh model yang lebih sederhana.
Model ini mempunyai 6 komponen
yaitu:
a. Statement of
philosophy (rumusan filosofis)
b. Statement of
goals (rumusan tujuan umum)
c. Statement of
objectives (rumusan tujuan khusus)
d. Design of
plan (desain
perencanaan)
e. Implementation
(implementasi)
f.
evaluation (evaluasi)
Pengembangan kurikulum Olivia terdiri dari 12 Komponen
yaitu:
a. Perumusan
filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan yang kesemuanya
bersumber dari analisis kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat,
b. Analisis
kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan urgensi
dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah,
c. Tujuan Umum
d. Tujuan
Khusus
e. Mengorganisasikan
rancangan dan mengimplementasikan kurikulum,
f.
Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan
umum pembelajaran
g. Menjabarkan
kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan khusus pembelajaran
h. Menetapkan
strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan,
i.
Pengembangan kurikulum
j.
Mengimplementasikan strategi pembelajaran
k. Pengembangan
kurikulum kembali
l.
Evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.
7) Integrated
Curriculum (Kurikulum Terpadu)
Kurikulum terpadu dasarnya dasarnya
pada pemecahan suatu problem, yakni “problem sosial” yang dianggap penting dan
menarik bagi anak didik. Dalam melaksanakannya disusunlah unit sumber yang
mencakup bahan, kegiatan belajar, dan sumber-sumber yang sangat luas.
Sumber unit digunakan sebagai
sumber untuk satuan pelajaran yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan
individual anak didik tidak harus selalu mempelajari hal yang sama dan ada
kebebasan bagi anak didik memilih pelajaran menurut minat, bakat, dan kemampuan
mereka masing-masing. Pemahamannya bahwa unit sumber merupakan apa yang secara
ideal dapat dipelajari anak didik, sedangkan satuan pelajaran adalah apa yang
secara aktual dipelajari anak didik.
B.
MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KURIKULUM
PERTIMBANGAN
DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM
1. Hubungan
antara implementasi dengan perencanaan
Implementasi kurikulum yang sukses dihasilkan dari kehati-hatian dalam
membuat perencanaan. Dalam membuat perencanaan harus berdasarkan pada tujuan
pengembangan kurikulum tersebut. Dalam mengimplementasikan kurikulum diperlukan
perencanaan yang terfokus pada tiga faktoryang tidak dapat dipisahkan,
yaitupihak yang terlibat, program, dan proses. Satu alasan mengapa banyak
implementasi kurikulum mengalami kegagalan adalah perhatian yang hanya terfokus
pada mengubah program tetapi tidak cukup perhatian pada kebutuhan para guru dan
organisasi sekolah.
2. Incrementalism
Implementasi, tidak terjadi dengan tiba-tiba dengan semua guru. Idealnya,
suatu proses implementasi membutuhkan waktu bagi guru dalam mencoba kurikulum
yang baru. Loucks dan Lieberman sudah menemukan bahwa guru berhasil dengan
suatu kurikulum baru jika guru mengorientasikan diri mereka kepada materi dan terlibat
aktif dalam implementasi kurikulum.
3. Communication
Kapanpun dan dimanapun saat program baru dirancang, diperlukan komunikasi
ke semua pihak yang terkait.
4. Cooperation
Para perancang kurikulum harus didukung dalam modifikasi program kurikulum
baru. Diperlukan berbagai pelatihan terutama kepada para pendidik.
Guru mempunyai tanggung jawab utama adalah untuk mengajarkan kurikulum,
oleh karena itu mereka harus memiliki pemahan yang tepat mengenai konsep
kurikulum dan bagaimana suatu kurikulum diciptakan.Tanpa dukungan keuangan
cukup, usaha untuk mendapatkan suatu program yang efektif akan gagal. Uang
diperlukan untuk peralatan dan material suatu program baru. Uang adalah juga
diperlukan untuk menyediakan dukungan manusia untuk implementasi sebuah usaha.
Di tingkatan yang lokal itu, ada lima langkah yang dilibatkan dalam budgetting
program baru: persiapan, ketundukan, adopsi, pelaksanaan, dan evaluasi.
Suatu hubungan kepercayaan harus ada antar semua organ dalam sekolah,
khususnya antara administrator dan guru. Kepercayaan adalah penjamin utama
kunci sukses inovasi dan implementasi. Implementasi adalah suatu usaha
emosional dan kolaboratif. Dukungan adalah hal penting jika implementasi
diharapkan sukses. Dan Lortie menunjuk para guru mengalokasikan mayoritas waktu
kerja mereka dalam kelas dengan para siswa mereka, oleh karena itu hendaknya mereka
mempunyai komunikasi minimal dengan rekan dan pemimpin mereka. Peluang untuk
para guru untuk bekerja sama, berbagi gagasan, bersama-sama memecahkan
permasalahan, dan dengan cara kerja sama menciptakan material yang memungkinkan
implementasi kurikulum dapat sukses.
IMPLEMENTASI
SEBAGAI PROSES PERUBAHAN KURIKULUM
Dalam mengimplementasikan suatu
program baru dalam sebuah organisasi maupun sekolah, membutuhkan pendekatan
yang multi tasking, yang tergambar dalam beberapa model sebagai berikut:
1) Overcoming Resistance to Change Model
Model untuk mencegah
adanya penolakan terhadap perubahan akibat implementasi kurikulum baru.
Langkah-langkah dalam model ini:
Langkah 1: Unrelated
concerns. Para guru pada tingkatan ini tidak merasa adanya
suatu hubungan antara diri mereka dengan perubahan yang diusulkan. Sebagai
contoh, jika suatu ilmu pengetahuan program baru sedang diciptakan dalam suatu
sekolah, seorang guru pada langkah ini akan sadar akan usaha tetapi tidak akan
mempertimbangkan bahwa ia atau dia akan terpengaruh oleh atau terkait dengan
usaha itu. Guru tidak akan menentang perubahan sebab ia benar-benar tidak
merasa perubahan mempengaruhi daerah profesionalnya atau pribadinya.
Langkah 2: Personal
concerns. Pada langkah ini, individu bereaksi kepada inovasi
dalam hubungan dengan situasi pribadi nya. Ia mempunyai kaitan dengan bagaimana
program yang baru, apa dan bagaimana dia sedang lakukan. Contoh, guru akan
merasa bahwa ia akan menjadi terlibat dengan program yang baru itu. Guru akan
menghadapi pertanyaan seberapa baik ia bisa memberi pengajaran dalam perubahan.
Langkah 3: Task-related
concerns. Concern pada tingkatan ini berhubungan dengan
penggunaan nyata dari inovasi dalam kelas. Contoh, guru akan mempunyai kaitan
dengan bagaimana cara benar-benar menerapkan program yang baru. Berapa banyak
waktu akan diperlukan untuk pengajaran program baru ini? Materi cukup
disajikan? Apakah strategi yang terbaik untuk mengajar program yang baru?
Langkah 4: Impact-related
concerns. Ketika bereaksi pada langkah ini, seorang guru jadi
lebih terkait dengan bagaimana inovasi akan mempengaruhi organisasi. Guru
tertarik akan bagaimana program yang baru mungkin mempengaruhi para siswa, para
rekan kerja, dan masyarakat. Kekuatan guru ingin menentukan dampak program, pada
apa ia sedang mengajar. Contoh, memungkinkan para siswa untuk hidup di masa
datang dunia?
Ketika bekerja dengan
ORC model, pendidik harus hadapi secara langsung dengan perhatian pada
langkah-langkah 2, 3, dan 4. Jika mereka mengabaikannya, masyarakat tidak akan
menerima inovasi.
2) Leadership-Obstacle Course Model
Pelatihan yang dilakukan pimpinan
organisasi sekolah agar lima kriteria
berikut terpenuhi:
a. Setiap pihak
harus memiliki pemahaman yang cukup terhadap kurikulum baru yang akan
diimplementasikan
b. Adanya
keahlian dan kapabilitas setiap personil yang terlibat sesuai dengan program
yang akan diterapkan.
c. Lengkapnya
kebutuhan material dan peralatan
d. Organisasi
sekolah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menerima program baru
yang akan diterapkan.
e. Setiap
kalangan harus termotivasi untuk mensukseskan progam baru
3) Linkage Model
Proses dasar
dari model ini adalah transfer knowledgedalampenyelesaian
masalah yang terjadi dalam pelaksanaan kurikulum baru.
4) Organizational Development Model
5) Rand Change Agent Model
Dalam model ini, diperlukan
pengaturan prosedur untuk memastikan kurikulum atau program-program baru bisa
berjalan dengan lancar
CHANGE AGENT
ROLES
Seseorang harus menjadi perintis
atau pencetus awal dalam proses pengenalan suatu program baru dalam dunia
pendidikan. Setiap orang bisa menjadi perintis tersebut. Suatu perubahan akan
berhasil dalam pelaksanaannya bila ada pencetus awal perubahan kurikulum
tersebut.
Pihak-pihak yang bisa
menjadi pelaksana awal kurikulum yang sudah dikembangkan, antara lain:
1) Guru
2) Kepala
Sekolah atau pimpinan organisasi
3) Fasilitator-Koordinator
Bisa dari
dalam ataupun luar sekolah yang terlibat dalam memfasilitasi dan melakukan
koordinasi kurikulum yang disempurnakan.
4) Supervisor
(pengawas)
Penutup
Pengembangan
kurikulum sebagai proses untuk memperbaiki serta mengembangkan program
pengajaran, merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan. Hal ini dilaksanakan
untuk mengimbangi perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi. Mengingat hal
tersebut maka dalam proses pengembangannya haruslah senantiasa memperhatikan
faktor-faktor masyarakat, yang salah satunya adalah peserta didik. Selain itu
faktor lingkungan juga berperan serta dalam menentukan pengembangan kurikulum.
Dalam proses implementasi kurikulum baru
yang telah disempurnakan memerlukan
kerjasama berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi sekolah.
Kenyataan di
lapangan masih ditemukan satuan pendidikan yang berusaha mengembangkan
kurikulumnya tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut. Mereka hanya
menambahkan beberapa kegiatan dan ekstrakurikuler dalam isinya tanpa
mempertimbangkan apakah hal tersebut bermanfaat bagi peserta didik atau tidak.
Padahal berdasarkan teori dalam mengembangkan kurikulum, peserta didik
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai pertimbangan
dalam proses pengembangan kurikulum.
REFERENSI
Ornstein, Allan C., & Francis P. Hunkins, 1988, “Curriculum; Foundations, Principles, and
Issues”, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey
Zais, Robert S, 1976, ”Curriculum; Principles and Foundations”, Harper & Row, Publishers,
New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar